"Memenuhi Hak
Korban Atas Pemulihan Melalui Pembangunan Inklusif"
Winarso, Ketua Umum Ormas SekBer '65 |
PADA tahun 2007 pemerintah Indonesia meluncurkan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM telah menjangkau setiap
kecamatan di Indonesia dan ini merupakan pembangunan berbasis masyarakat
terbesar. Namun, dari hasil studi pada tahun 2010, ditemukan kelompok-kelompok
terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan PNPM. Mereka itu adalah
kelompok masyarakat yang karena hambatan fisik dan budaya seperti difabel,
kelas etnis, agama dan norma-norma gender yang disandangnya telah dikecualikan
kesetaraannya sebagai anggota masyarakat. Untuk mengatasi ini, pemerintah
menginisiasi hadirnya PNPM Peduli yang mendorong pembangunan inklusif yang
memberi ruang yang setara pada seluruh elemen masyarakat.
Inklusi
sosial mensyaratkan pendekatan dua arah yaitu pendekatan penguatan pada yang
terpinggirkan dan pendekatan perubahan perilaku pada masyarakat maupun pemerintah
untuk mewujudkan penerimaaan dan toleransi. Di satu sisi membangun kapasitas
kelompok yang dieksklusikan agar prasangka buruk terhadap mereka dapat
diminimalisir. Di sisi yang lain, membangun penerimaan masyarakat terhadap kaum
yang terpinggirkan.
Dalam
pelaksanannya, PNPM Peduli berkerja sama dengan organisasi masyarakat di bawah
pengawasan Kemenko Kesra. Di Kota Solo, PNPM Peduli akan bekerja sama dengan
Sekretariat Bersama '65 (SekBer'65).
Ada
beberapa kelompok masyarakat sasaran PNPM Peduli Tahap II ini di antaranya
adalah korban pelanggaran HAM berat. Bahwa komunitas korban pelanggaran HAM
masih terus merasakan berbagai bentuk peminggiran (eksklusi) baik secara
sosial, politik, budaya dan ekonomi. Peminggiran yang masih terjadi tersebut
menjadikan korban semakin jauh dari pemenuhan terhadap hak-hak mereka sebagai
warga negara.
Ibu Tatik dari IKA |
Peristiwa
pelanggaran HAM tersebut juga menyebabkan korban tidak memiliki titik pijak
yang sama sebagai warga negara. Luka fisik dan psikologi, hilangnya aset
produksi, putus/renggangnya modal sosial adalah sebagian dari banyak dampak
kekerasan di masa lalu. Pijakan yang tidak sama tersebut berdampak pada semakin
dibutuhkannya berbagai bentuk dukungan agar kehidupannya menjadi lebih baik,
lebih utuh. Sayangnya, dukungan-dukungan tersebut tidak sepenuhnya mudah atau
terjangkau untuk diakses.
Bersamaan
dengan peminggiran tersebut, stigma pemberontak, perempuan bekas tentara, PKI,
pembunuh, penjarah telah menjadi kosa kata yang dilekatkan pada mereka dan
keluarga maupun keturunannya. Frasa dengan konotasi negatif yang tidak jarang
membuat masyarakat umum mempercayainya dan menghayatinya sebagai suatu
kebenaran.
Lalu,
pertanyaan yang muncul, bagaimana caranya agar mereka dapat lebih mengakses
dukungan-dukungan tersebut sementara stigma masih melekat kuat di masyarakat ?
Bagaimana agar pemerintah dapat lebih terbuka dalam memberikan hak-hak warga negaranya
- termasuk di dalamnya hak-hak mereka sebagai korban pelanggaran HAM ?
Bagaimana kelompok masyarakat sipil (termasuk di dalamnya kelompok korban)
dapat melakukan usaha-usaha transformatif agar korban dapat menikmati
hak-haknya ?
Untuk
menjawab banyak pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian aksi ini untuk
mengenal bentuk peminggiran dan mekanisme yang membuatnya lestari hingga kini
(siapa saja aktor-aktor yang berperan, alat apa yang digunakan) serta aset/sumber-sumber
daya yang dapat digunakan untuk menjalin dialog dan kerja sama, pandangan dari
korban, pelaku peminggiran, penyedia layanan, dan kelompok masyarakat sipil
akan menjadi sumber-sumber utama.
Di
bawah pengawasan Kemenko Kesra, pada tanggal 18 September 2014, hari Kamis,
tepatnya jam 09.30, bertempat di Meeting Room Toko Roti Ganep lantai II R Sutan
Syahrir 176 Tambak Segaran, Solo, SekBer '65 melakukan riset inklusi sosial
PNPM Peduli dengan tujuan untuk mengenal bentuk peminggiran dan mekanisme yang
membuatnya lestari hingga kini (siapa saja aktor-aktor yang berperan, alat apa
yang digunakan) serta aset/sumber-sumber daya yang dapat digunakan untuk
menjalin dialog dan kerja sama, pandangan dari korban, pelaku peminggiran,
penyedia layanan, dan kelompok masyarakat sipil akan menjadi sumber-sumber
utama.
Terkait
dengan riset inklusi sosial tersebut dengan penyelenggaraannya berbentuk Forum
Diskusi Group (FDG) dihadiri oleh Ibu Tatik dari IKA, Aktivis Perjuangan
Perempuan dan Anak, Aktivis Mahasiswa Solo Raya, Perwakilan Koperasi dari
Pemerintah Daerah, Perwakilan Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah serta
Tokoh-tokoh Seni dan Budaya, dan Tokoh Masyarakat di lingkungan korban itu
sendiri.
Dalam acara tersebut, semua yang hadir
memberikan keterangan yang pada dasarnya sama tentang rekonsiliasi dan
pelurusan sejarah tragedi 65 untuk persatuan dan kesatuan dan kesejahteraan
rakyat Indonesia. Sedangkan Winarso sebagai Ketua Umum Ormas SekBer '65
mengajak seluruh elemen yang ada untuk bergabung memperjuangkan hak-hak korban
yang terkena pelanggaran berat HAM berdasarkan kebenaran sejarah yang ada untuk
Indonesia yang lebih baik. (F.894) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment