UNTUK menampung perubahan tatanan dan perilaku ekonomi
masyarakat dengan tetap berpedoman pada tujuan pembangunan di bidang ekonomi
yang bertumpu pada kemandirian bangsa, maka untuk membiayai pembangunan tersebut
berasal dari penerimaan pajak.
Kabupaten
Lombok Tengah merupakan teras dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, keberadaan Bandara
Internasional Lombok (BIL) di Lombok
Tengah sebagai pintu masuk ke Pulau Seribu Masjid, semua faktor pendukung pembangunan
ekonomi untuk kesejateraan masyarakat terus ditingkatkan, walaupun dalam beberapa
kegiatan pembangunan harus melalui proses pinjaman.
Biaya
pembangunan yang melalui proses pinjaman tersebut mendapat kritikan dari salah satu
politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan anggota
DPRD Provinsi NTB 4 periode sekaligus putra daerah Lombok Tengah, Drs H
RuslanTurmuzi, yang mengungkapkan, kenapa harus berhutang untuk membangun, uang
negara di pusat kurang lebih Rp 1.400 triliun, tinggal bagaimana kita kemas Kabupaten
Lombok Tengah untuk mempunyai nilai jual
sehingga kita bisa mendapatkan dana APBN untuk pembangunan. Ke pemerintah pusat
itu jangan hanya membawa diri ,tapi harus punya akses dan daya lobi yang
tinggi. Ini bukan pendidikan yang baik untuk masyarakat Lombok Tengah dalam membangun
dengan cara berhutang”.
Saat
dikonfirmasi FAKTA, Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Lombok Tengah, Drs Lalu
Karyawan MSi, mengungkapkan, pendapatan asli daerah (PAD) Lombok Tengah untuk 4
tahun terakhir stabil, bahkan cenderung terus mengalami peningkatan. Hal ini tidak
terlepas dari peran aktif masyarakat setelah melalui proses sosialisasi yang
kontinyu dan tidak terlepas pula dari dukungan para Lurah dan Kepala Desa. Dari
5 sumber pajak yaitu Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan Asli Daerah,
Hasil Perusahaan & Pengelolaan Daerah yang dipisahkan dan pendapatan asli
daerah yang sah, pada tahun 2009 terealisasi 81,11 %, tahun 2010 terealisasi
65,44 %, tahun 2011 terealisasi 88,88 %, tahun 2012 terealisasi 69,51 %, tahun
2013 terealisasi 107,59 %. Bahkan untuk tahun 2014 yang sedang berjalan ini sudah
mencapai 94,83 % sehingga penilaian dari Menteri Keuangan terhadap Pendapatan Asli
Daerah Kabupaten Lombok Tengah adalah positif. “Dan kita (Pemda Lombok Tengah)
mendapatkan insentif berupa 1 unit kendaraan
operasional. Saya sendiri selaku Kepala Dinas hanya memenej dan tidak terlibat langsung
dalam hal keuangan, karena semua pendapatan sebagai kas masuk tidak boleh mengendap
satu hari pun di kantor ini. Penerimaan sebagai kas masuk pagi sampai siang,
sore sudah harus disetor ke Bank NTB. Saya tidak ada beban psikologis dalam menjalankan
tugas sebagai Kepala Dinas Pendapatan,” ungkapnya.
Disinggung
mengenai penerapan terhadap peralihan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2002
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan dimulai pada tahun 2011 wewenang pusat dilimpahkan kepada Pemerintah
Kabupaten melalui Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2010, Lalu Karyawan mengungkapkan
bahwa Dinas Pendapatan akan mendapatkan pajak
BPHTB di saat masyarakat akan mengurus untuk memperoleh haknya secara
legal. “Tapi sebaliknya kalau tidak diurus oleh pemiliknya kita tidak akan mendapatkan
pajak BPHTB tersebut. Adapun cara perhitungannya
adalah Nilai Tanah – Rp 60.000.000 X 5%, jadi kita (Dispenda) akan melihat nilai
transaksi jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Namun kadang tidak
masuk akal, pada kawasan ekonomi potensial masyarakat melakukan transaksi melalui
dokumen yang diserahkan sebagai syarat pengurusan BPHTB tertera Rp 1.000.000,-/are,
sehingga kita berpedoman pada nilai pasar yang lebih rasional dan ditambah dengan
penilaian tim internal Dispenda yang terdiri dari Bidang PBB & BPHTB,
Bidang Retribusi Pendapatan Non PBB yang diketuai oleh Sekretaris sebagai tim penilai
kewajaran harga transaksi. Hingga minggu ke-III bulan September 2014 pajak
BPHTB mencapai 71,04 % dari target Rp
4.250.000.000,- atau baru terealisaisi sejumlah Rp 3.019.076.025”.
Disinggung
lagi oleh FAKTA soal tidak digunakannya Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang
mempunyai angka pasti dalam pengenaan pajak BPHTB, Lalu Karyawan menambahkan
bahwa NJOP dinilai rendah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat sekarang ini
sehingga perolehan pajak BPHTB sulit akan mencapai target. “Tetapi kami akan mengusulkan
kepada unsur yang terkait yaitu BPN dan KPP Pratama untuk menegosiasi NJOP pada angka yang wajar”.
Di
lain pihak, Muhamad, salah satu pekerja sosial (LSM), saat dimintai tanggapannya
oleh FAKTA, menilai bahwa anggota DPRD Lombok Tengah yang mempunyai salah satu fungsi
sebagai legislasi atau perundang-undangan adalah sekedar duduk manis untuk
mengcopy paste UU No. 20 Tahun 2000 yang sebelumnya adalah kewenangan pusat melalui
badan/lembaga vertikal yang ada di kabupaten yaitu BPN dan diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten dengan Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Salah
satunya adalah Pajak BPHTB tersebut. Walaupun saat ini Dispenda bergerak melakukan
pemungutan pajak BPHTB, itu sama dengan telah berani ambil resiko hukum maupun
unsur hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Seharusnya Dispenda diproteksi
dengan Peraturan Daerah yang disesuaikan dengan hukum sosial kemasyarakatan setempat,
minimal Peraturan Bupati sehingga asas keadilan, kepastian hukum dan kesederhanaan
dalam pelayanan publik tercapai. Dengan kondisi sekarang ini antara tim yang
dibentuk sendiri oleh Dispenda dan masyarakat tetap ada peluang main
kucing-kucingan, maka tentu akan ada tikus-tikus kantor”.
Ditambahkan
lagi oleh Muhamad, salah satu yang menjadi sorotan serius dalam Peraturan
Daerah No.14 tersebut adalah pada bagian Kedua Dasar Pengenaan Tarif dan Cara
Penghitungan Pajak, Pasal 68 ayat 2 yaitu nilai perolehan pajak BPHTB point C
yaitu Hibah dan point D yaitu hibah wasiat serta point E adalah Waris. Logika berpikir
yang sehat dari ketiga poin tersebut adalah perolehannya dengan pemberian bukan
jual beli ataupun tukar-menukar (transaksi ) tapi penerapannya diasumsikan oleh
Pemerintah (Dispenda) sebagai jual beli sehingga perhitungan pengenaan pajak
BPHTB-nya adalah nilai pasar, maka lahirlah negosiasi antara masyarakat selaku pemohon
dengan pemerintah yaitu Dispenda.
“Jadi,
kepastian hukumnya di mana ? Dalam permasalahan ini saya sebagai masyarakat
Lombok Tengah mendorong pemerintah melalui Dispenda, BPN dan KPP Pratama serta
unsur pemerintah lainnya untuk segera merasionalisasikan NJOP sebagai dasar pengenaan
pajak BPHTB seperti pola yang dilakukan oleh BPN selaku lembaga vertikal
sebelum pajak BPHTB ini dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten. Dan, Bupati
Lombok Tengah hendaknya segera menerbitkan Peraturan Bupati sebelum Peraturan
Daerah tersebut direvisi oleh DPRD
Lombok Tengah,” harap Muhamad.
Mamiq
Arkom, warga kota Praya, dalam pengakuannya kepada FAKTA , pernah menjadi salah
satu korban pengurusan pajak BPHTB dengan birokrasi yang panjang dan harus berdebat
dengan pemerintah (Dispenda). Ia merasa diperlakukan dengan ketidakjelasan walaupun
telah diberikan penjelasan dasar hukum melalui Peraturan Daerah oleh pegawai Dispenda.
Mamiq Arkom dalam keterangannya kepada FAKTA, sudah mengurus pajak BPHTB waris,
dasar pengenaaan pajak BPHTB-nya adalah nilai pasar. “Seolah-olah saya melakukan
jual beli dengan almarhum orangtua saya, sehingga muncullah angka yang harus saya
bayar ratusan juta rupiah. Tetapi setelah melalui proses negosiasi, angka tersebut
mengecil menjadi belasan juta rupiah,” ungkapnya.
Mamiq Arkom menambahkan, kalau tidak mau terkejut
dan lebih mudah, pengurusan pajak BPHTB melalui notaris saja. Sebab biasanya pegawai
Dispenda lebih familiar dengan staf notaries. “Dan, menurut saya, itu bisa diatur.
Jadi, Peraturan Daerah itu berlaku bagi masyarakat yang buta huruf,” sentilnya.
(F.957) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment