Maimun Saleh SH saat memberikan keterangan kepada wartawan tentang gugatannya ke Pengadilan Negeri Sinabang |
ENTAH karena kesewenang-wenangan atau tidak mengerti aturan,
Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) diduga tabrak aturan.
Benarkah ada modus mark down saat pengalokasian anggaran ?
Buntut
dari perbedaan selisih volume pekerjaan box cluivert tepatnya di Desa Hulu,
Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh, Maimun Saleh SH
alias Boim menggugat pemerintah daerah melalui PPK Bidang Bina Marga setempat
sebesar Rp 10 milyar (immateriil) serta kerugian materiil sebesar Rp 220.800.000.
Kasus
ini bermula dari Direktur CV Bumi Indah Kontruksi, Maimun Saleh, menyampaikan
secara tertulis bahwa proyek pekerjaan jembatan Box Cluivert yang dikerjakan
perusahaannya tidak sesuai dengan kondisi kebutuhan lapangan yang melebihi 10
persen dari pagu anggaran. Saat itu Boim melihat pekerjaan tersebut terindikasi
gagal perencanaan. Makanya ia selaku kontraktor meminta pihak Dinas PU Simeulue
untuk melakukan penghitugan ulang bersama dengan konsultan perencana dan
pengawas. Namun permintaannya itu tak mendapat jawaban dari PPK Bidang Bina
Marga Dinas PU setempat sampai dua kali surat tertulis dilayangkan.
Merasa
tak ditanggapi, ia pun menempuh jalur hukum atas persoalan yang tak mempunyai
titik temu tersebut. Pasalnya, belakangan diketahui ternyata Dinas PU tidak
menetapkan konsultan perencanaan dan pengawasan yang mengakibatkan terjadinya
perbedaan atau selisih quantity/volume BQ dalam SPK lapangan pada pekerjaan
proyek penunjukan langsung (PL) senilai Rp 146.500.000,- itu. Dan, membuktikan
adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PA dan PPK DPU Simeulue.
Kepada
wartawan, Boim menjelaskan bahwa sebelumnya ia telah menyampaikan persoalan
tersebut untuk ditanggapi dengan serius oleh PPK, karena sampai dengan hari ini
pekerjaan tersebut tidak mempunyai kepastian. Namun sayang, pihak Dinas PU tak
mau menanggapinya. “Awalnya tak ada niat saya untuk melabuhkan persoalan ini ke
ranah hukum tapi karena tidak kooperatifnya PPK Bidang Bina Marga membuat saya
gerah dan bertanya-tanya ada apa sesungguhnya kok terkesan zalim ? Benar saja,
ternyata Dinas PU selama ini tak menunjuk konsultan perencana pada kegiatan
yang saya kerjakan. Kuat dugaan ada permainan dalam pengalokasian anggaran,” ujar
Boim.
Lanjutnya,
sikap yang dilakukan oleh PPK dan PA Simeulue itu terang-terangan telah
mengabaikan azas kepentingan publik dan azas keadilan. Bahkan, menurut ayah
tiga orang anak ini, kebijakan pengalokasian anggaran proyek itu disinyalir
sarat penekanan (mark down). “Lihat
saja pada Surat Perintah Kerja (SPK)-nya, kontraktor sama sekali tidak
diberikan gambar. Tak hanya itu, pekerjaan tersebut tidak memiliki pengawasan
sehingga menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan yang berakibat terjadinya
perbedaan selisih volume antara kontrak kerja dengan kebutuhan lapangan,” ujarnya.
Anehnya
lagi, penambahan biaya sebanyak Rp 28 juta tanpa menyebutkan asal-usul sumber
anggaran, bahkan uangnya sebagian besar tidak masuk ke rekening perusahaan
selaku pelaksana kegiatan tetapi dibayarkan langsung ke pekerja dan toko material.
Pengukuran pun dilakukan sepihak oleh PPK tanpa melibatkan konsultan perencana
dan pengawas, termasuk pelaksana sendiri. Alhasil perbedaan ukuran lebar
jembatan menjadi polemic. Awalnya 4 meter tapi di lapangan menjadi 7 meter.
Dalam
gugatannya, ia menilai sanksi yang dijatuhkan PPK sebesar 1/1.000, tidak
memiliki dasar hukum. Pasalnya, secara teknis PPK yang tidak mencantumkan
konsultan perencana merupakan perbuatan melanggar hukum sesuai dengan Perpres
54 Tahun 2010 serta perubahan pada Perpres 70 Tahun 2012 termasuk Peraturan
Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan kontruksi.
Sementara
alasan pihak DPU Kabupaten Simeulue yang mengatakan jika kondisi keuangan
sedang tidak memungkinkan maka pihak dinas sendiri dapat membuat perencanaan
melalui intansinya, oleh Boim dituding sebagai tindakan yang menyalahi aturan.
Melihat
gelagat tidak baik dan penuh permainan, mantan anggota panwas pemilu ini memejahijaukan
perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Sinabang. Dalam hal ini Boim bertindak
sebagai penggugat, sedangkan Ir Iwan MM dan Afit Linon ST disebut sebagai
tergugat dan turut tergugat adalah Bupati Simeulue. “Setelah berbagai langkah
mediasi yang dilakukan berujung deadlock (gagal), tak ada pilihan lain putusan
pengadilan akan menentukan secara hukum siapa yang benar dan siapa yang salah
dalam perkara gugatan yang saya ajukan ke pengadilan dengan nomor 04/Pdt/G/2014/
PN-SNB tanggal 22 Mei 2014 ini,” tegas Alumni Fakultas Hukum ini.
Pihak
Pengguna Anggaran (PA) yang dikonfirmasi Sumadi dari FAKTA melalui HP-nya
membenarkan bahwa perkara yang digugat Maimun Saleh sudah sampai ke ranah
hukum. “Perkara ini masih dalam proses hukum maka kita tunggu saja bagaimana
hasil akhirnya nanti,” kata Iwan singkat.
Sedangkan pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
Afit Linon ST, tak berhasil dikonfirmasi. Meski ditelepon masuk namun tak ada
jawaban. Mungkinkah pegawai golongan III yang juga pemilik Wisma Graha Fit ini
pilih menghindari wartawan ? (F.960) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment