Putu Meding Edie Gunarta |
KOMPLEKSITAS
permasalahan yang terjadi dan dialami Kota Denpasar, tidak jauh beda dengan
kota-kota metropolitan lain pada umumnya. Sebagai kota tujuan wisata dan
menjadi ibu kota Provinsi Bali, Kota Denpasar yang juga sebagai salah satu urat
nadi pertumbuhan ekonomi masyarakat, tidak luput dari masalah kemacetan
lalulintas, sampah, banjir dan lonjakan jumlah penduduk akibat urbanisasi.
Konsisi itu, menurut Putu Meding Edie Gunarta, advokat yang
ditokohkan masyarakat sekaligus sebagai pengamat sosial, bahwa problematika yang
terjadi dan dialami Kota Denpasar patut ditangani serius. Patut mendapat
penanganan yang cerdas dan cepat sehingga kompleksitas permasalahan tidak malah
menjadi ikon baru yang mengiringi perkembangan Kota Denpasar ke depan.
“Permasalahan perkotaan ini harus segara ditangani dengan bijak.
Penanganan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan personil, melainkan
penanganan cerdas yang mengedepankan edukasi kepada masyarakat,” ujar pria
familiar yang dipanggil Edi ini kepada FAKTA.
Penanganan dan penanggulangan permasalahan itu, lebih lanjut
dijabarkan pria yang juga sebagai Pengurus Saba Desa Pakraman Sesetan dan Ketua
Bali Segara Foundation itu, juga tidak hanya cukup dengan menegakkan aturan
atau perda melainkan harus disertai solusi. “Satu contoh pada warung liar, itu
muncul sebagai akibat dari kurang tersedianya lahan bagi mereka untuk berjualan.
Jika mereka ditertibkan, seharusnya diimbangi dengan disediakannya ruang untuk
mereka beraktivitas. Pun demikian dengan parkir liar, ditindak namun patut ada
tempat parkir yang memadai,” imbuhnya.
Hal lainnya dalam melakukan penertiban penduduk di antaranya
pendatang, menurutnya, tidak cukup hanya dengan sanksi bagi pelanggar.
Penertiban sepatutnya dimulai dengan menerapkan seleksi penduduk antara
produktif dan pengangguran. Kemudian penyediaan sarana pertunjukan budaya untuk
mengakomodir masing-masing budaya masyarakat Kota Denpasar yang heterogen,
penyediaan taman, serta penyediaan sarana atau ruang bagi para pemuda untuk
mengekspresikan potensinya. Sehingga tidak ada lagi istilah saling curiga dan
agresifitas antar-individu atau kelompok masyarakat, tidak timbul masalah gegar
budaya. Bahkan personal space akan tetap terbuka.
“Semua itu sepatutnya menjadi bahan pemikiran dan kemudian
direalisasikan pemerintah. Jangan hanya mengedepankan aspek ekonomi semata
namun mengabaikan potensi budaya. Satu contoh dalam rutinitas perayaan HUT Kota
Denpasar yang hanya sekedar pameran dagang. Sarana bagi truna-truni
(pemuda-pemudi) pun seharusnya tersedia sebagai wadah untuk mengeksplor
potensi-potensi yang dimiliki mereka. Jadikanlah mereka subyek pembangunan
bukan sekedar obyek,” sindirnya.
Dari semua permasalahan itu, termasuk masalah tata ruang dan
kemacetan yang belum tertangani dengan maksimal, kata dia, sepertinya Kota
Denpasar butuh pemimpin figur seorang ibu. Butuh sosok dari kalangan perempuan
yang memiliki sifat bijaksana, mengayomi, mengasihi sepenuh hati dan memiliki
empati yang besar terhadap masyarakatnya. Seorang figur pemimpin yang bisa
merangkul semua kalangan tanpa membedakan latar belakang ekonomi dan sosial,
namun tegas dan ulet dalam menegakkan dan merealisasikan visi-misi Kota
Denpasar sebagai kota pariwisata budaya.
“Denpasar butuh figur seorang ibu yang dengan
bijaksana mampu melakukan penataan penduduk, menata ruang hijau terbuka, serta
menata sarana transportasi menjadi masal. Dan figur seorang ibu yang mampu
mewujudkan Kota Denpasar sebagai kota yang lebih clean and green serta bebas
banjir,” tegas Edi. (F.915) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment