RSU DR SOETOMO BUTUH TAMBAHAN RUANG PERAWATAN
“Fenomena overload pasien terjadi sejak berlakunya
BPJS,” kata Direktur RSU Dr Soetomo.
BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ternyata tak
selamanya menjamin semua fasilitas bagi pesertanya. Program jaminan kesehatan
yang digulirkan pemerintah itu telanjur disambut sangat baik oleh rakyat, namun
fasilitasnya justru tak menjaminnya.
Direktur RSU Dr Soetomo, dr Dodo Anondo |
Direktur
RSU Dr Soetomo, dr Dodo Anondo, mengatakan, fenomena overload pasien terjadi sejak berlakunya BPJS. Dia menyebutkan,
sebelum ada program BPJS, jumlah pasien rawat jalan sebanyak 3.000 orang per
hari. Kini setelah ada BPJS, jumlahnya naik drastis sampai 5.000 pasien. Itu
berarti ada penambahan 2.000 pasien.
Akibatnya, RSU Dr
Soetomo penuh. Belum lagi jika dihitung interaksinya. Jika setiap pasien
diantar dua orang, ada 15.000 orang berinteraksi setiap hari.
Menurut
dia, banyak faktor penyebab terjadinya lonjakan pasien tersebut. Salah satunya
karena RSU Dr Soetomo merupakan rumah sakit level tiga. Itu berarti RS tersebut
menjadi jujukan terakhir. Semua pasien yang sudah tidak tertangani akan dirujuk
ke RSU Dr Soetomo. Apalagi RSU Dr Soetomo adalah RS rujukan Indonesia timur.
”Kami ini rujukan terakhir. Kalau sudah mentok, mau ke mana lagi ?” ungkapnya.
Selain itu, sesuai
dengan instruksi menteri kesehatan dan gubernur, haram hukumnya menolak pasien.
”Kalau masuk di emergency, harus diterima. Makanya, RS ini selalu penuh,”
tuturnya.
Kemudian
setiap pasien UGD yang tidak memiliki surat BPJS masih diberi waktu untuk
mengurus dokumen tersebut. Yakni, dalam waktu 2x24 jam. Medical record pasien juga masih diuruskan.
Kepala
instalasi rawat darurat, dr Urip, menambahkan, pasien umum yang tidak memiliki
uang akan dipiutangkan. Itu berbeda dengan RS swasta yang tidak menerima pasien
ngutang. ”Bayarnya di akhir pelayanan. Kalau swasta, harus pakai uang muka.
Makanya, orang memilih ke sini,” kata Urip.
Menurut
Urip, sebenarnya rumah sakit sudah memiliki senjata khusus untuk menangani perkara
itu. Yakni, dengan brankar atau ranjang transfer yang memiliki roda.
Saat ini IRD memiliki
80 brankar. Jika habis, tersedia matras. RSU Dr Soetomo mempunyai 30 matras.
Namun, hanya 20 yang dipakai, 10 lainnya disimpan.
Tapi, jika semua
brankar dan matras sudah terpakai, RS terpaksa menggunakan brankar ambulan.
Biasanya pukul 17.00, semua fasilitas tempat tidur tersebut sudah penuh.
Karena
itu, Urip menyebut butuh penambahan brankar. ”Kalau habis, saya nggak mentolo lihat pasien tidur di
bawah,” ujarnya.
Dia
juga berharap ada penambahan ruang perawatan. Sebab, pasien yang memerlukan
perawatan lebih lanjut harus ditempatkan di ruang rawat inap.
Tapi, masalahnya,
kamar untuk menginap pasien kurang. Saat ini kamar rawat inap sudah memiliki
1.550 bed occupancy ratio (BOR) atau
tempat tidur untuk 5.000 pasien. Jumlah BOR itu tentu tidak mencukupi. Menurut
Urip, idealnya ada penambahan 1.000 BOR lagi. Pembangunan tersebut tentu
membutuhkan biaya besar.
Lebih
jauh dr Dodo mengatakan, RSU Dr Soetomo adalah RS milik Pemerintah Provinsi
Jawa Timur sehingga dananya terbatas, bergantung APBD. Dia mencontohkan, proyek
gedung jantung dan liver transplant yang hingga kini belum selesai. Namun, Dodo
optimis proyek pembangunan bisa terlaksana. Sementara ini, RSU Dr Soetomo
memfungsikan ruang transisi baru yang dibuka pada 1 September lalu. Ruang
tersebut memiliki 20 tempat tidur.
Menurut
Dodo, sebenarnya RSU Dr Soetomo pernah ditinjau langsung oleh Presiden SBY dan
jajaran petinggi Pemprov Jatim, termasuk Gubernur Jatim, Soekarwo. Melihat
pasien yang membludak, saat itu Soekarwo meminta RSU Dr Soetomo diperluas.
Perluasan tersebut bisa dilakukan di lahan belakang rumah sakit. ”Rencananya
tahun depan dibangun gedung rawat inap baru biar pasien nyaman,” jelasnya.
Dodo
menegaskan, saat ini RSU Dr Soetomo memiliki PR besar untuk menangani overload pasien. Yakni, penataan sistem
rujukan. Artinya, sebelum pasien dimasukkan ke RS itu, semua level di bawahnya
harus sudah terlewati.
Menurut
Dodo, masalah overload pasien di RSU
Dr Soetomo merupakan imbas masalah di hulu. Sebab, ada persoalan yang terjadi
di hulu atau pada fasilitas kesehatan (faskes) dasar seperti puskesmas.
Sudah
hampir sembilan bulan program kesehatan bergulir, antusiasme masyarakat pun
sangat tinggi dalam menyambut program kesehatan tersebut. Sayangnya, antusiasme
masyarakat itu tidak diimbangi dengan sistem rujukan BPJS yang tepat. Hati
siapa pun pasti tersentuh saat melihat Siriacus Kabhi, salah seorang pasien
kelas I di RSU Dr Soetomo Surabaya. Dia dirawat di emperan ruang Pandan Wangi
khusus perempuan.
Wajah
pria 56 tahun itu tampak pucat. Sesekali dia menahan rasa sakit yang mendera.
Tetapi, tekadnya untuk sembuh lebih kuat daripada rasa sakitnya. Karena itu,
pasien asal Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tersebut sabar dengan
kondisi tempat perawatan rumah sakit yang ala kadarnya itu.
Siriacus
sudah seminggu ditempatkan di ruangan yang sebenarnya tidak layak untuk merawat
pasien. Pria tersebut mengidap penyakit gagal ginjal kronis.
Dia dirujuk oleh
rumah sakit daerah di Kupang untuk mendapatkan penanganan lebih baik di rumah
sakit milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur. ’’Katanya kamar penuh,
jadi harus menunggu kamar kosong,’’ ujar Meriyasinta Kolit, istri Siriacus.
Antrean
pasien yang begitu panjang dengan fasilitas ruang rawat inap terbatas membuat
Meri harus memakluminya. Sebab, pasien yang berada di emperan hingga
lorong-lorong ruangan tidak hanya Siriacus. Saat itu ada tiga pasien lain yang
juga dirawat di lorong tersebut. Di sepanjang lorong bagian dalam IRNA pun,
terlihat lebih dari delapan pasien ditempatkan di atas brankar yang dibawa dari
ruang IRD.
Meski
begitu, Meri tetap memilih suaminya ditempatkan sementara di lorong. ’’Yang
terpenting, suami saya ditangani dokter,’’ katanya.
Hal
senada diungkapkan Ana Virana. Pasien ca mammae (kanker payudara) kelas II
tersebut juga pernah menjalani rawat inap di lorong. Padahal, kondisi
penyakitnya cukup parah. ’’Waktu itu ruang inap kelas II penuh. Saya harus
menunggu sampai dua hari, baru dapat kamar,’’ ujar Ana sambil berbaring lemas
di atas kasur.
Ana
menambahkan, setelah ada pasien yang check out, pasien di lorong dipindahkan ke
kamar. Menurut dia, pasien yang datang ke RSU Dr Soetomo memang harus bersabar.
Bahkan, pasien rujukan dari poliklinik maupun IRD harus menerima untuk
digabungkan dengan pasien lain. ’’Harus terima kalau digabungkan dengan pasien
beda kelas maupun beda penyakit,’’ ucapnya.
Kondisi
tersebut hampir terjadi di setiap instalasi rawat inap (IRNA). Termasuk, di
IRNA bedah, Cempaka. IRNA tersebut diperuntukkan pasien yang baru menjalani
operasi atau pembedahan. Bahkan, antrean di IRNA itu lebih parah daripada di
IRNA medik.
Tabri,
salah seorang pasien IRNA Cempaka mengatakan sudah antre kamar selama dua
bulan. Penantian panjang tersebut membuat kondisi kanker mulut yang diderita
pria 77 tahun itu semakin parah. Benjolan di mulut Tabri yang dulu kecil kini
terus membesar. ’’Kami diminta menunggu. Soalnya, kamar operasi penuh,’’ kata
Ratih, cucu perempuan Tabri.
Karena
belum ada kamar operasi yang kosong, Tabri pun menjalani rawat jalan sementara
waktu di rumahnya. Karena benjolan di mulutnya semakin besar, dia pun memakai
masker untuk menutupinya. Tabri harus menjalani operasi pengangkatan kanker
agar tidak menjalar ke bagian lain.
Kepala
Ruang Irna Bedah Cempaka, Ani, membenarkan bahwa penantian kamar kosong di irna
bedah jauh lebih panjang daripada di irna medik. ”Waktu ngamar disesuaikan
dengan kamar operasi dan ruangan,” ungkap Ani. Jadi, jika kamar irna bedah
penuh, pasien harus menunggu di rumah. Itu dilakukan agar pasien tidak membayar
biaya kamar tanpa operasi. Dengan begitu, beban pasien tidak besar dan membantu
pasien lain yang memang sudah saatnya ngamar untuk dirawat di rumah sakit. Yang
antre adalah pasien yang akan menjalani operasi elektif. Artinya, operasi
nonemergency dan bisa direncanakan.
Sistem
rujukan berjenjang yang diusung BPJS itu dirancang, salah satunya, untuk
menghindari overload di faskes
tersier (RSU Dr Soetomo dan RSAL dr Ramlan).
Kenyataannya, RSU Dr
Soetomo sebagai rumah sakit daerah tipe A masih kebanjiran pasien. Hal tersebut
disebabkan faskes primer yang menjalankan pengobatan 144 jenis penyakit masih
terkendala obat-obatan serta peralatan penunjang pemeriksaan.
Puskesmas
Tenggilis, misalnya. Hingga bulan kesembilan program BPJS berjalan, puskesmas
tersebut masih terkendala kurangnya obat-obatan. Misalnya, obat jantung dan
tetanus. ”Obat masih kurang. Di puskesmas kami belum ada serum antitetanus,”
ungkap Kepala Puskesmas Tenggilis, dr Dessy J Setia.
Padahal, dua penyakit
itu harus ditangani di fasilitas kesehatan dasar. Akibat keterbatasan dan
kekurangan tersebut, pasien akhirnya dirujuk ke RS tipe C dan B atau faskes
sekunder.
Begitu
juga penyakit rabun jauh atau miopi yang belum bisa ditangani secara maksimal
di Puskesmas Tenggilis. Peralatan yang sudah terlampau tua mengakibatkan hasil
pemeriksaan tidak akurat. Pasien pun dirujuk ke rumah sakit sekunder atau yang
memiliki peralatan lengkap.
Dessy
mengakui, kendala tersebut memang sering terjadi di hampir seluruh puskesmas.
Keterbatasan fasilitas kesehatan dan obat-obatan itu membuat pelayanan di
tingkat puskesmas terkendala. ”Kami diminta melayani, tapi obat kurang. Saya
juga tidak tahu siapa yang akan melengkapi kekurangan itu ?” jelasnya.
Terkait
dengan sistem rujukan BPJS, Dessy menuturkan bahwa faskes dasar bisa memberikan
rujukan pasien langsung ke RS tipe A. Itu berlaku untuk jenis penyakit
tertentu. Di antaranya hemofilia, kanker, cuci darah, serta penyakit yang
diobati dengan kemoterapi dan radioterapi. ”Kalau jenis penyakit ganas, pasien
langsung kami rujuk ke rumah sakit tersier,” paparnya.
Alasannya,
faskes tipe A memiliki peralatan lengkap dan mumpuni untuk menangani pasien
dengan penyakit ganas. Menurut Dessy, persoalan tersebut hingga kini terus
disosialisasikan dan dicari jalan keluarnya. Sebab, nanti seluruh warga
Indonesia harus sudah memakai BPJS. Dengan begitu, layanan di segala jenjang
pun perlu dioptimalkan.
Sementara
itu, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo alias Pakde Karwo, mengatakan, BPJS memang
perlu dievaluasi. Menurut dia, masalah BPJS saat ini adalah terbatasnya kantor
yang melayani program tersebut. Kontrol yang dilakukan hingga kini masih
kurang. Seharusnya kantor BPJS tidak hanya satu, tetapi ada di banyak tempat.
Termasuk, ada di setiap rumah sakit. ’’Harus ada banyak loket yang berhubungan
dengan BPJS. Itu problemnya. Pelayanannya terbatas, padahal orang sakit ada di
rumah sakit,’’ ungkap Soekarwo.
Dia
menambahkan, BPJS masih menggunakan manajemen perkantoran kuno. Dia juga sudah
menyampaikan masalah tersebut kepada Komisi IX DPR. Apalagi saat ini akan ada
Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dikelola BPJS. ’’KIS itu kartu kuratif,
kartunya orang sakit,’’ tuturnya.
Menurut
Soekarwo, politik kesehatan sejak reformasi sudah salah dalam memberikan
solusi. Seharusnya, bukan memberikan solusi untuk orang sakit, tetapi
memberikan solusi kepada orang sehat agar jangan sakit. Yang terjadi saat ini
adalah memberikan fasilitas puskesmas dengan dipan yang banyak sehingga
menimbulkan kesan orang sakit juga banyak. ’’Seharusnya pencegahan mulai dari
bawah yang diperhatikan,’’ tandasnya. (F.835) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment