MAHKAMAH AGUNG
KEMBALI TERCORENG
Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan
akan semakin menurun akibat perbuatan tidak patut yang dilakukan segelintir
oknum lembaga peradilan.
ATS (Andri Tristianto Sutrisna).
|
KOMISI Yudisial (KY) RI menyayangkan adanya pejabat
di Mahkamah Agung (MA) yang terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat malam (12/2). Melalui juru bicara KY,
Farid Wajdi, KY merasa prihatin atas penangkapan salah satu aparat pengadilan dalam
OTT KPK tersebut.
"Kami
menyayangkan, di tengah keinginan dan usaha banyak pihak dalam membenahi dunia
peradilan, kinerja lembaga peradilan justru kembali tercoreng," kata Farid
kepada wartawan, Sabtu (13/2).
Farid
khawatir, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan semakin menurun akibat
perbuatan tidak patut yang dilakukan segelintir oknum lembaga peradilan.
Sehingga, menurutnya, harus ada tindakan tegas terhadap oknum tersebut agar hal
tersebut tidak terulang.
Selain
itu, hal yang terpenting yakni pembenahan internal lembaga peradilan itu
sendiri. "KY meyakini MA akan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
diatur dalam undang-undang sekaligus melakukan pembenahan internal pengadilan
yang lebih intens," katanya.
Menurutnya,
peristiwa ini harus menjadi pelajaran bagi seluruh aparat pengadilan lainnya
untuk lebih profesional dan menjaga integritas tanpa kecuali dalam menjalankan
tugas. "Sebab, selain itu merupakan kewajiban, juga pada dasarnya
pengawasan tidak tidur dan terus berjalan dalam berbagai bentuk," ujar
Farid.
Yang
jelas, Mahkamah Agung (MA) akan mencopot pejabatnya yang terlibat dalam OTT KPK
itu jika memang terbukti. Juru Bicara MA, Suhadi, memberikan responnya terkait
keterlibatan salah satu pejabat MA yang terjaring OTT KPK tersebut. "Kalau
jabatan, biasanya kalau prosesnya dia ditahan berarti perkaranya harus berjalan
dan kemungkinan jabatannya bisa dicopot," kata Suhadi, Sabtu (13/2).
Sebelumnya,
KPK dikabarkan mengamankan seorang pejabat MA beserta lima orang lainnya dalam
OTT KPK di Jakarta, Jumat malam (12/2).
KPK
membenarkan pihaknya memang telah menangkap seorang oknum pejabat di MA. Lebih
lanjut dijelaskan kronologis penangkapan oknum pejabat MA berinisial ATS (Andri
Tristianto Sutrisna) bersama ALE (Awan Lazuardi Embat) dan IS (Ichsan Suadi) dalam
OTT pada Jumat malam (12/2).
IS (Ichsan Suadi).
|
"Pada
Jumat sekitar pukul 22.30 WIB, KPK mengamankan ALE, yaitu seorang pengacara dan
seorang sopir di parkiran hotel kawasan Gading Serpong Tangerang," kata
Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati, dalam konferensi pers
di gedung KPK Jakarta, Sabtu (13/2).
Kemudian,
setelah penangkapan ALE, dilakukan penangkapan ATS, Kasubdit Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perdata Khusus pada MA. Tim penyidik KPK menangkap ATS di
rumahnya, yang juga berlokasi di kawasan Gading Serpong Tangerang, dan
ditemukan uang Rp 400 juta dalam pecahan Rp 100.000,- dalam tas kertas (paper bag).
"Pada
saat yang hampir bersamaan dilakukan penangkapan terhadap IS, seorang pengusaha
di sebuah apartemen di kawasan Karet, Jakarta Selatan, selain tiga orang yang diamankan
yaitu sopir dari IS dan dua petugas pengamanan tempat domisili ATS," ujar
Yuyuk.
Uang
diberikan melalui perantaraan sopir IS kepada ALE. "Jadi, sopir IS yang
memberikan uang ke ALE, dan dari ALE uang itu diberikan kepada ATS,"
ungkap Yuyuk.
Uang
Rp 400 juta tersebut terkait dengan penundaan penyerahan salinan putusan kasasi
MA. "Pemberian uang itu terkait dengan permintaan penundaan salinan
putusan kasasi sebuah perkara dengan terdakwa IS. Saat ditangkap juga ditemukan
uang Rp 400 juta dalam paper bag, dan
ada juga uang lain dalam satu koper tapi uang di dalam koper lain itu masih
dalam perhitungan," kata Yuyuk.
Selain
uang, KPK juga menyita mobil Honda Mobilo warna silver dan Toyota Camry silver
dari penangkapan di Hotel Atria, Gading Serpong Tangerang.
Atas
perbuatan tersebut, KPK menyangka ATS melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b
atau pasal 11 UU RI No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU RI No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal
itu mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman
maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sedangkan
IS dan ALE disangka dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf
b atau pasal 13 UU RI No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20
Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya. Ancaman pidananya paling singkat 1 tahun dan paling
lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250
juta.
IS
adalah Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA) berbasis di Malang. IS pada 13
November 2014 oleh majelis hakim tipikor di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa
Tenggara Barat (NTB), dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Labuhan Haji di Kabupaten Lombok Timur. Ia
dijatuhi pidana 1,5 tahun penjara dan uang pengganti Rp 3,195 juta. Putusan itu
dikeluarkan oleh ketua hakim Sutarno dan anggota hakim Edward Samosir dan
Mohammad Idris M Amin.
Perkara
IS yang divonis bersama-sama dengan Lalu Gafar Ismail dan M Zuhri berlanjut ke
Pengadilan Tinggi (PT) dan diperberat menjadi vonis selama 2 tahun penjara dan
denda Rp 200 juta. IS pun mengajukan kasasi ke MA, namun majelis hakim kasasi
yang terdiri atas MS Lumme, Krisna Harahap dan Artidjo Alkostar pada 9
September 2015 menolak kasasi yang diajukan IS dan menjatuhkan pidana penjara pada
IS selama 5 tahun ditambah denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan penjara, serta
kewajiban membayar uang pengganti Rp 4,46 miliar subsidair 1 tahun penjara.
ALE (Awan Lazuardi Embat).
|
Akhirnya,
KPK menetapkan status tersangka terhadap Kepala Sub Direktorat Kasasi dan PK
Perdata dan Khusus pada MA, ATS, sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap
permintaan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi sebuah perkara korupsi di
MA.
Selain
ATS, penyidik KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka yakni ALE
selaku pengacara, dan IS yang diketahui sebagai seorang pengusaha.
"Setelah
gelar perkara pada sore ini diputuskan untuk meningkatkan status perkara ke
tahap penyidikan dengan menetapkan tiga orang tersangka yakni atas nama ATS,
ALE, dan IS," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati,
saat jumpa pers di Kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Sabtu (13/2).
Sampai
berita ini dibuat, penyidik KPK masih melakukan pemeriksaan terhadap para saksi
dari MA dan para tersangka.
Sementara
itu, menurut praktisi hukum di Surabaya, Advokat Drs H Imam Djasmani SH, suap
di lembaga peradilan sepertinya akan terus terjadi dan terjadi lagi. Tidak
hanya di MA tapi juga di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi.
Indikasinya, banyak pengaduan/laporan dari masyarakat yang berperkara di PN
maupun di PT kepada KY tentang dugaan suap oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada majelis hakim yang menangani perkara di PN dan atau di PT. Meskipun
nilai suapnya boleh dibilang tidak sebesar seperti yang sering terjadi di
Jakarta, yang mencapai ratusan juta rupiah, bahkan miliaran rupiah.
“Tapi,
lagi-lagi yang namanya suap ibarat buang angin, bisa dirasakan baunya tapi
sulit dibuktikan wujudnya. Suap baru bisa dibuktikan kalau tertangkap tangan
seperti yang sering dilakukan KPK melalui OTT-nya. Masalahnya, KPK terbatas
jumlah SDM-nya sehingga tidak mungkin bisa melakukan OTT ke para oknum hakim
korup di seluruh daerah di tanah air”. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment