Bu Risma Ingin Angka Kemiskinan Di Surabaya Turun Hingga 2 Persen
Walikota
Surabaya, Ir Tri Rismaharini (Bu Risma).
|
WALIKOTA Surabaya, Tri Rismaharini, punya strategi khusus
untuk menekan angka kemiskinan di ibu kota Provinsi Jawa Timur tersebut. Meskipun angka kemiskinan sudah berhasil turun dari
kisaran 7 persen di 2010 menjadi 4,6 persen di 2016, Bu Risma masih ingin menurunkannya hingga menyentuh 2 persen tahun ini.
Salah satu
cara meningkatkan pendapatan masyarakat Surabaya adalah mempekerjakan sekitar
600 tukang becak di Kota Surabaya menjadi petugas kebersihan. Kenapa hal ini
dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat ? Menurut Bu Risma, saat ini kondisi tukang becak di Kota Surabaya
sangat memprihatinkan. Jika dihitung-hitung pendapatan mereka per bulan hanya di bawah Rp 1,4 juta. "Kita akan
mempekerjakan sekitar 600 tukang becak di Surabaya menjadi petugas kebersihan kita. Pendapatan mereka menjadi tukang becak itu rata-rata
Rp 1,4 juta nyatanya tidak mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya
sehari-hari," terang Bu Risma saat menghadiri acara
peresmian Kongres IQRA (Indonesian
Qualitative Researcher Association) yang pertama, di Graha Wiyata,
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Dengan
menjadi petugas kebersihan Kota Surabaya, menurut Bu Risma, para tukang becak tersebut akan digaji dengan
besaran UMK (Upah Minimum Kota) Surabaya saat ini, sekitar Rp 3,3 juta.
"Nantinya (setelah menjadi petugas kebersihan) bayarannya itu UMK,"
kata Bu Risma.
Jika
mendapatkan pendapatan per bulan sekitar Rp 3,3 juta dengan menjadi
petugas kebersihan, maka para tukang becak mendapatkan pendapatan lebih besar
hampir dua kali lipatnya ketimbang menjadi tukang becak.
Seperti
diketahui, kemiskinan di Indonesia merupakan persoalan mendesak yang
membutuhkan penanganan segera, tidak hanya di pedesaan tetapi juga di wilayah
perkotaan. Satu ciri menonjol masyarakat miskin adalah tidak adanya akses ke
sarana dan prasarana dasar lingkungan yang ditandai dengan kualitas perumahan
dan permukiman yang jauh di bawah standar kelayakan, seperti buruknya sanitasi
dan akses kesehatan. Kondisi ini selain merupakan implikasi dari ketidakpastian
pendapatan dari mata pencaharian mereka, juga diakibatkan oleh minimnya
lapangan kerja dan rendahnya tingkat pendidikan.
Melihat
permasalahan kemiskinan tidak cukup pada gejala-gejala fisik yang tampak dari
luar dan satu sektor saja. Persoalan kemiskinan harus ditinjau secara utuh dan
multidimensi baik dimensi politik, sosial, ekonomi, dan aset. Berbekal cara
pandang demikian diharapkan kemiskinan tertangani lebih mendalam dan
menyeluruh. Pemerintah melalui dinas-dinas bersama dunia usaha, perguruan
tinggi, pers dan LSM harus bergerak bahu-membahu mengupayakan penanggulangan kemiskinan
dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif sebagai
subyek pembangunan. (F.809)
No comments:
Post a Comment