KINI TOMOHON MAKIN
PANAS
![]() |
Walikota Tomohon, Jimmy F Eman SE Ak.
|
ANDA pasti sering mendengar orang berkata,“Panas
banget ya hari ini”. Sementara di media sosial, Anda pasti sering membaca
kalimat,“Panasnya Puuuol” atau “Panasnya Ruarrr Biasa”. Tidak salah, fakta
memang menunjukkan bumi terus mengalami peningkatan suhu. Kondisi ini biasa
disebut pemanasan global atau global
warming. Pemanasan global merupakan suatu proses meningkatnya suhu rata-rata
lapisan atmosfer, laut, dan daratan di bumi.
Di
Sulawesi Utara, khususnya Kota Manado, suhu bisa menembus hingga kisaran
30-33°C. Suhu yang sudah pasti tidak nyaman bagi manusia. Padahal dulu, suhu
rata-rata hanya di kisaran 20-21°C. Fenomena ini juga dirasakan warga Kota
Tomohon yang berada di pegunungan. Bahkan di saat cuaca panas, suhu di Kota
Tomohon bisa mencapai kisaran 30°C.
Sekadar
diketahui, Kota Tomohon merupakan salah satu daerah otonom yang ada di Provinsi
Sulawesi Utara. Kota ini berada pada ketinggian 400 - 1.500 meter dari
permukaan laut, sehingga kondisi suhu udaranya relatif lebih rendah dibanding
daerah lain. Hal ini pula yang membuat Tomohon sering disebut Kota Sejuk.
Tapi
itu masa lalu (dulu), berbeda dengan sekarang. Kota Tomohon kini tak lagi sejuk.
Faktanya, di saat cuaca panas, suhu Kota Tomohon bisa mencapai level 30°C. Suhu
yang tidak masuk kategori sejuk. Dulu, di Kota Tomohon lumrah melihat orang
pakai jaket di siang bolong. Tapi sekarang, pemandangan itu hanya bisa ditemui
di malam hari. Kondisi ini bukan semata dampak dari pemanasan globlal, tetapi
perkembangan Kota Tomohon sendiri ikut memberi kontribusi.
Dulu,
masih sedikit kendaraan bermotor lalu-lalang. Tapi sekarang, macet akibat
padatnya kendaraan di ruas jalan Tomohon, sudah menjadi pemandangan biasa.
Dulu, tempat penginapan yang biasa disebut cottage
dan resort masih bisa dihitung dengan
jari. Tapi sekarang, di mana-dimana ada cottage
dan resort. Bahkan di sepanjang ruas
jalan Tomohon-Manado, yang kondisinya dikelilingi tebing dan jurang, kini padat
dengan bangunan.
Kondisi
ini diperparah oleh kebijakan pemerintah setempat yang beberapa tahun terakhir
gencar mendatangkan pemilik modal untuk membangun sektor pariwisata. Alhasil,
atas nama pembangunan pariwisata, bukit-bukit yang dulunya hijau dan asri
disulap menjadi bangunan.
Satu
contoh pembangunan lokasi wisata bukit Wawona, Rurukan, Kecamatan Tomohon
Timur, yang sempat memicu kontroversi. Judie Turambi, pemerhati lingkungan
hidup, mengatakan, ada kesalahan prosedur yang dilakukan pengembang lokasi
wisata Bukit Wawona. Pertama, pembangunan sudah lebih dulu dijalankan, padahal
belum melengkapi perizinan, terutama analisa mengenai dampak lingkungan (amdal).
Tindakan cacat prosedural ini melanggar UU nomor 32 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain
itu, kata Turambi, di lokasi sekitar pembangunan ada empat mata air yang bisa
terancam kelestariannya, yakni mata air Teteneman, Pasu Tuwang, Pasong dan
Mezel.
"Lokasi
kemiringan di bukit Wawona juga diperkirakan 40-45 derajat, sehingga sebelum
mengawali pembangunan seharusnya sudah punya amdal dulu," kata dia.
Atas
dasar itu, Judie Turambi akhirnya melaporkan pihak pengembang ke Polres Tomohon
karena membangun tanpa mengantongi izin. Alih-alih kena sanksi, pengembang
Bukit Wawona justru diback-up penuh
oleh Pemerintah Kota Tomohon di bawah kepemimpinan Walikota Jimmy F Eman SE Ak.
Hanya dengan hitungan singkat, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Tomohon
mengeluarkan rekomendasi izin lingkungan atas pembangunan wisata Bukit Wawona.
Keputusan
itu, menurut Kepala BLH Tomohon, Lily Solang, diambil setelah dokumen Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan ( UPL) disetujui
oleh tim penilai BLH. "UKL dan UPL sudah disetujui dan rekomendasi izin
lingkungan sudah dikeluarkan," ujar Lily Solang pada medio April 2016.
![]() |
Obyek wisata Bukit Wawona.
|
Tahun
lalu (2015), ketika Indonesia dilanda badai El Nino, gejala alam yang ditandai dengan meningkatnya
suhu permukaan laut, para peneliti dari berbagai lembaga mengukur suhu panas
bumi. Hasilnya, 2015 tercatat sebagai tahun terpanas jika dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya sejak 1880-an.
NASA
(National Aeronautics and Space
Administration), NOAA (National
Oceanic and Atmospheric Administration), dan Japan Meteorogical Agency mengklaim kebenaran atas fenomena itu.
Pada enam bulan pertama tahun 2015, panas bumi kian meningkat hingga berada di
tingkat tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Di
Indonesia, badai El Nino memicu kekeringan. Dampaknya, kebakaran hutan terjadi
di mana-mana, tak terkecuali Kota Tomohon yang dulu dikenal sejuk. Bahkan
Gunung Lokon yang menjadi salah satu ikon Kota Tomohon, gundul dalam sekejap
dilalap api.
Ada
beberapa penyebab mengapa suhu bumi terus meningkat. Penyebab utama sudah pasti
aktivitas manusia sendiri. Atau, dengan kata lain, kontributor terbesar
pemanasan global adalah manusia itu sendiri.
Salah
satu penyebab pemanasan globlal adalah Emisi Gas Rumah Kaca. Gas rumah kaca
adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas
tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul
akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang
mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai.
Karbondioksida (CO2) adalah gas terbanyak kedua, yang timbul dari berbagai
proses alami seperti letusan vulkanik, pernapasan hewan dan manusia (yang
menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida), dan pembakaran material
organik (seperti tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh
lautan dan diserap oleh tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis.
Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
Gas
Rumah Kaca yang berada di atmosfer (troposfer) yang dihasilkan dari aktivitas
manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak,
gas, dan batubara), seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor,
AC, dan lainnya. Selain itu Gas Rumah Kaca juga dihasilkan dari pembakaran dan
penggundulan hutan, serta aktivitas pertanian dan peternakan.
PBB
pernah melaporkan bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah
kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah
kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi gas rumah kaca industri
peternakan meliputi 9% karbondioksida, 37% gas metana (efek pemanasannya 72
kali lebih kuat dari CO2), 65% nitrooksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat
dari CO2), serta 64% amonia penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari
seluruh permukaan tanah kering di bumi dan 33% dari area tanah yang subur
dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak.
Sehingga
PBB menyimpulkan bahwa kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah
karbondioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan
(terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), nitrogen oksida (NO) dari
pupuk, serta gas yang digunakan untuk barang-barang elektronik seperti kulkas
dan pendingin ruangan (CFC).
Rusaknya
hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin
memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang
tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.
Itulah
sebabnya, sejumlah negara yang terlibat dalam Protokol Kyoto terus melakukan
berbagai upaya untuk mengurangi pemanasan global melalui kebijakan-kebijakan
yang berbasis ramah lingkungan. Mulai dari penghijauan hutan, pengurangan
penggunaan CFC dan lainnya. Karena jika tidak ada upaya untuk menekan pemanasan
global, maka bumi akan semakin tidak ramah terhadap umat manusia. Bahkan, bukan
tidak mungkin, beberapa ratus tahun ke depan, manusia harus mengenakan pakaian
khusus akibat suhu bumi yang terlalu panas.
Dampak
pemanasan global mulai kita rasakan, salah satunya adalah climate change (perubahan iklim). Terjadinya banjir dan kekeringan
di wilayah yang tidak biasanya terjadi, perubahan cuaca yang sulit diprediksi,
juga mulai kita rasakan, termasuk oleh warga Tomohon yang tidak lagi merasakan
suasana sejuk seperti dulu.
Dunia
yang akan kita wariskan pada anak-cucu bakal jauh berbeda dengan dunia yang
kita tempati sekarang, jika tidak ada langkah konkrit untuk mengatasi pemanasan
global. Inilah tantangan terbesar yang sedang dihadapi umat manusia, khususnya
Tomohon yang kini terasa makin panas saja. (F.1002) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks
No comments:
Post a Comment