Direktur RSU Dr Soetomo, dr Dodo Anondo MPH |
DIREKTUR RSU Dr Soetomo
Surabaya, dr Dodo Anondo MPH, menyebutkan, jika obat kanker menghilang ada dua
opsi yang ditawarkan. Pertama, dicarikan obat pengganti. Sesuai dengan
formularium nasional (fornas), ada beberapa jenis obat yang ditanggung BPJS
pada satu penyakit. Namun, jika obat yang kosong itu hanya satu-satunya yang
bisa diresepkan, Dodo meminta dokter membuat laporan ke rumah sakit. Dengan
begitu, dia menyatakan siap untuk segera melayangkan surat ke Dirjen Bina Kefarmasian
(Binfar) Kemenkes.
Jika masalahnya pada pabrik yang tidak
menyuplai obat, hanya menkes yang bisa turun tangan, yakni menegur pabrik.
Selain kemenkes, ketersediaan obat berkaitan dengan BPJS. “Saya akan minta ke
BPJS dan menkes. Ini sudah urusan tingkat atas. Kami hanya sebagai pengguna,”
tegasnya.
Dodo menambahkan, selama ini pasien kanker
memang tinggi. Termasuk yang membutuhkan obat. Misalnya, untuk kemoterapi.
Sebanyak 22 kamar tidur di ruang kemoterapi RSU Dr Soetomo penuh setiap hari.
“Di POSA itu obat harian. Biasanya oral untuk ditelan. Kalau kemo ada khusus,
dilewatkan infus,” ujarnya.
Menanggapi habisnya obat kanker, dr Heru
Purwanto SpB(K)Onk mengakuinya. Salah satunya, Tamoxifen, obat oral untuk
kanker. Ada ratusan pasien yang membutuhkan obat tersebut. Menurutnya, obat
kanker ada beberapa jenis. Misalnya A, B, dan C.
“Masalahnya, obat tersebut direkomendasikan
untuk kanker tertentu. Obat yang lain tidak bisa. Sebab, peraturannya harus
memakai merek itu yang dihasilkan dari pabrikan khusus. Sudah sebulan lebih
tidak ada,” ucapnya.
Dokter yang menangani langsung pasien kanker
di RSU Dr Soetomo itu menuturkan, obat tersebut sudah diresepkan kepada pasien.
Namun, apotek tidak bisa melayani. Alasannya, obat kosong dari pabrik.
RSU Dr Soetomo Surabaya |
Selain obat oral tersebut, Heru juga mengakui
kekosongan Zoladex. Obat tersebut perlu diinjeksikan setiap bulan ke tubuh
pasien sebagai terapi hormonal. Dia pun menyebut hanya bisa menunggu bagian
farmasi POSA untuk mengadakan obat tersebut. Sebab, banyak pasien yang sangat
membutuhkannya. “Semoga segera ada,” ucapnya.
Pasien kanker di RSU Dr Soetomo memang tidak
bisa leluasa mendapatkan obat. Sejak dua pekan lalu, instalasi farmasi di Poli
Onkologi Satu Atap (POSA) menyebutkan kehabisan obat untuk beberapa penyakit
kanker. Misalnya, kanker usus, getah bening, mata, dan payudara. Padahal, ada
500 pasien per bulan yang datang dan membutuhkan obat tersebut. Seperti yang
dialami Marina. "Jumat (17/4) saya ke apotek itu dan dikatakan bahwa obat
untuk kanker payudara habis. Padahal, obat itu harus segera disuntikkan ke pasien,"
ujar Marina.
Menurut dia, obat tersebut bernama Zoladex.
Saat itu dia mengantre sejak pukul 09.00 di Apotek POSA. Perempuan berusia 50
tahun tersebut mendapat antrean nomor 70. Marina baru dipanggil untuk mengambil
obat pukul 13.00. Seperti disambar petir, petugas apotek menyebutkan obat itu kosong.
Padahal, obat tersebut sedianya diperuntukkan bagi temannya yang ketika itu
terbaring di rumah sakit.
Marina
menyebut sang teman menderita kanker payudara stadium IV sejak dua tahun lalu.
Dia diminta untuk mengambilkan obat lantaran kondisinya tidak memungkinkan. Dia
pun kecewa. Apalagi sang petugas tidak bisa memberikan jawaban pasti kapan obat
itu tersedia. Sebab, kekosongan obat itu sudah terjadi beberapa hari. "Ini
obat satu-satunya untuk pasien kanker payudara yang belum menopause. Saya
kecewa sekali," ucapnya.
Marina mengungkapkan, sang teman harus
disuntik Zoladex setiap bulan. Dia berusaha menemui dokter RSU Dr Soetomo yang
memberikan resep. Hingga akhirnya dia bertemu dengan dokter tersebut di tempat
praktiknya pada Senin (19/4). Saat itu Marina mengeluhkan kekosongan obat itu.
Sang dokter pun mengaku baru tahu bahwa obat itu tidak ada. "Dokternya bilang
sendiri bahwa pasien yang butuh obat itu banyak. Tapi, nyatanya memang
habis," katanya.
Dokter tersebut menawarkan opsi agar dia membeli
obat dari luar alias dengan membayar sendiri, bukan yang ditanggung BPJS
Kesehatan. Harganya tidak murah, yaitu sekitar Rp 2 juta. Angka itu cukup besar
untuk pasien kelas menengah ke bawah. "Kalau yang punya uang tidak
masalah, tapi bagi yang tidak punya uang bagaimana ?" ucap Marina.
Perempuan yang juga Ketua Indonesian Ostomy
Association (In OA) Surabaya itu menyatakan, pasien yang mengantre untuk obat tersebut
bukan hanya dirinya tetapi banyak yang lain. Apalagi yang rumahnya di luar
Surabaya. "Saya saja teller, apalagi yang dari luar kota bagaimana ?
Datangnya lebih pagi pula. Kenapa tidak ada koordinasi antara apotek POSA
dengan dokter ? Jadi, dokter tidak nulis resep obat itu," ujar Marina.
Kondisi tersebut, menurut dia, sebenarnya
terjadi sudah sejak lama. Dia menyatakan pernah kontrol untuk meminta reagen
kit tes penanda tumor. Sebab, dia pernah menderita kanker rektum. Namun, reagen
itu juga dikatakan habis. "Mudah-mudahan kondisi seperti ini tidak
berlanjut terus," ungkapnya. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment